Thursday, 19 July 2012

Lika Liku Hidup dan Rel Kereta Api

Sebelum menyimak kisah saya, mari dangdutan dulu..
“Hidup penuh liku-liku
Ada suka ada duka
Semua insan pasti pernah merasakannya
                Jalan hidup rupa-rupa
                Bahagia dan kecewa
                Baik hidupnya
                Semua pasti ada hikmahnya”
*Setelah lirik itu, biasanya biduan organ tunggal pantura kayang sambil teriak

Saya duduk tepat di di depan WC kereta api ekonomi Bengawan dari Jakarta ke Solo. Jejak-jejak kaki keluar masuk WC dan bau pesing saya nikmati sebagai aroma terapi dini hari yang sejuk. Saya sendiri naik dari Stasiun Parujakan, Cirebon. Di sinilah spot PW yang tiada tara, melebihi nikmatnya fasilitas hotel bintang lima. Betulkah? Entahlah..

Saya menikmati setiap penjajah makanan khas KA ekonomi yang naik turun silih berganti di setiap pemberhentian stasiun. Saya hayati suara pengasong-pengasong itu saat menawarkan jualan mereka,
Pi.. kopi... pop miee...,”
“ting... lantiiing.. yang guriii”
“suu... tisuu.. tisuu...”

Jika tidak memperhatikan dengan seksama, mereka seperti tidak pernah lelah mondar mandir dari satu gerbong ke gerbong yang lain sambil berteriak menjajakan makanan. Padahal mereka adalah pengasong-pengasong yang bergantian keluar masuk kereta. Sungguh well organize. Seperti ada SOP khusus yang mereka sepakati antar pengasong sepanjang lintasan kereta di Pulau Jawa.

Suara roda kereta yang gemertak, suara mesin kereta yang menderu membelah sunyinya malam, dan suara signal kereta saat akan memasuki stasiun terdengar harmoni seperti alunan orkestra yang merangsang otak saya untuk menulis, merekam semua kejadian di kereta ini. Jika tidak dinikmati, memang suara-suara ini sangat berisik dan mengganggu.

Penumpang yang terlelap tidur berkali-kali terkaget saat peluit signal berbunyi. Saya malah keasikan dengan semua kebisingan kereta ini. Karena saya kentutpun tidak akan ada yang tahu. Tapi harus bisa memperkirakan bunyi kentut bersamaan dengan gemertak roda kereta. Seperti tokoh vasilli dalam perang dunia II di arena Stalingrad, Rusia, yang digempur oleh pasukan Nazi. Vasilli, sang sniper, memanfaatkan dentuman bom untuk melepaskan peluru ke tentara Nazi agar lokasinya tidak akan diketahui.

Ya, di depan WC inilah tempat favorit saya. Hilir mudik para penumpang yang akan dan telah menikmati sesi buang air saya saksikan. Masuk dengan terburu-buru, keluar berlenggang dengan wajah sumringah. Saya bukan penumpang gelap, bukan juga penumpang malam yang tidak kebagian tempat duduk.

Semenjak delapan bulan kebelakang, saya perhatikan perkereta apian Indonesia mulai berfikir manusiawi. Tak ada lagi gerbong yang penuh berjejal manusia di setiap sudutnya. Manusia di sambungan kereta, di kolong tempat duduk, di sepanjang jalan gerbong, dan di seluruh celah yang memungkinkan kaki untuk berpijak.

Sekarang, dengan peraturan barunya, PT. KAI tidak lagi menjual tiket berdiri, tiket kolong, dan sebagainya itu dengan harga yang sama dengan tiket yang dimiliki orang-orang yang tertidur pulas di tempat duduk masing-masing. Jadi, di sanalah saya sebenarnya duduk, di samping seorang nenek bercucu enam.

#Nestapa Seorang Ibu
Nenek pensiunan Depnaker itu mempunyai enam cucu. Dari detik pertama saya duduk di sampingnya, dia sudah mulai bercerita tentang sebagian kecil kisah hidupnya yang memilukan. Dia ditinggal pergi anak laki-lakinya yang berusia 19 tahun, kala itu. Ibu itu bertutur, dulu – sebelum anak laki-lakinya meninggal - dia gemuk. Namun karena terlalu lama meratapi kepergian anaknya, dia tidak mau makan sampai berbulan-bulan.Tentu saya tidak percaya. Bagaimana mungkin dia masih hidup sampai sekarang? Kalau tidak, di samping saya ini adalah zombie. Ternyata memang betul, jika tidak kasihan dengan perutnya, dia tidak mau makan, tuturnya.

Suatu ketika, seseorang yang melayat mendoakan anaknya berpesan, tak usalahlah meratap berlebihan. Lihatlah para keluarga korban tsunami Aceh – kematian anaknya berdekatan dengan musibah tsunami Aceh – yang ditinggal seluruh sanak famili mereka, mereka lebih banyak kehilangan.

Dikatakan begitu, ibu itu marah bukan main, dan membalas, “kamu belum pernah mengalami hal ini. Tunggu saja kalau kamu ditinggalkan anakmu."

Begitulah ibu yang tidak saya ketahui namanya bercerita. Kemudian saya tinggalkan saja dia yang sudah meninggalkan saya lebih dulu. Dia tertidur pulas dengan mulut menganga.

***
Dan di sinilah saya, di depan WC yang lebih nyaman, dari pada kursi  penumpang yang sama saja tidak bisa membuatku tertidur. Di sini, saya bisa melihat lebih banyak ekspresi wajah para penumpang, dari pada di tempat duduk hanya ada wajah-wajah bosan, ngantuk, dan penat. Di sini, di depan WC, aku melihat ekspresi lain yang lebih menyenangkan untuk di lihat. Ekspresi pengguna WC saat kebelet dan harus mengantri  dan begitu lega ketika keluar. Ekspresi penjaul asongan yang penuh harap dagangannya ada yang membeli. Ekspresi senang penumpang baru di setiap pemberhentian stasiun. Dan ekspresi kesal seorang penjual pop mie yang disebabkan oleh saya.

Penjual itu langsung jengkel ketika saya membayar barangnya dengan uang pecahan besar. Dia meminta saya untuk membayar dengan uang pas saja. Saya pun langsung menunjukkan isi dompet untuk membuktikan di dompet saya tidak ada pecahan uang yang lebih kecil lagi. Kemudian mukanya langsung ditekuk sambil berlalu.
“Lho, pak! Ini gimana?” ku angkat pop mie itu sambil kebingunan.
“Ya udah, ambil aja!” kemudian dia berlalu masuk ke gerbong.

Akhirnya saya makan pop mie dengan rasa bersalah. Tidak ku rasakan lezatnya MSG yang biasa sangat saya nikmati. Sesekali penjual itu masi hilir mudk, masih menjajakan dagangannya. Saya, dengan mulut yang penuh dengan MSG seakan-akan mendengar ia berkata, “Enak lu! Makan MSG gratis!!!”

No comments:

Post a Comment