“Hidup penuh liku-liku
Ada suka ada duka
Semua insan pasti
pernah merasakannya
Jalan hidup rupa-rupa
Bahagia dan kecewa
Baik hidupnya
Semua pasti ada hikmahnya”
*Setelah lirik itu, biasanya biduan organ tunggal pantura
kayang sambil teriak
Saya duduk tepat di di depan WC kereta api ekonomi Bengawan
dari Jakarta ke Solo. Jejak-jejak kaki keluar masuk WC dan bau pesing saya
nikmati sebagai aroma terapi dini hari yang sejuk. Saya sendiri naik dari
Stasiun Parujakan, Cirebon. Di sinilah spot PW yang tiada tara, melebihi
nikmatnya fasilitas hotel bintang lima. Betulkah? Entahlah..
Saya menikmati setiap penjajah makanan khas KA ekonomi yang
naik turun silih berganti di setiap pemberhentian stasiun. Saya hayati suara
pengasong-pengasong itu saat menawarkan jualan mereka,
“Pi.. kopi... pop
miee...,”
“ting... lantiiing..
yang guriii”
“suu... tisuu..
tisuu...”
Jika tidak memperhatikan dengan seksama, mereka seperti
tidak pernah lelah mondar mandir dari satu gerbong ke gerbong yang lain sambil
berteriak menjajakan makanan. Padahal mereka adalah pengasong-pengasong yang
bergantian keluar masuk kereta. Sungguh well
organize. Seperti ada SOP khusus yang mereka sepakati antar pengasong sepanjang
lintasan kereta di Pulau Jawa.
Suara roda kereta yang gemertak, suara mesin kereta yang
menderu membelah sunyinya malam, dan suara signal kereta saat akan memasuki
stasiun terdengar harmoni seperti alunan orkestra yang merangsang otak saya
untuk menulis, merekam semua kejadian di kereta ini. Jika tidak dinikmati, memang suara-suara ini sangat
berisik dan mengganggu.
Penumpang yang terlelap tidur berkali-kali terkaget saat peluit signal berbunyi. Saya malah keasikan dengan semua kebisingan kereta ini. Karena saya kentutpun tidak akan ada yang tahu. Tapi harus bisa memperkirakan bunyi kentut bersamaan dengan gemertak roda kereta. Seperti tokoh vasilli dalam perang dunia II di arena Stalingrad, Rusia, yang digempur oleh pasukan Nazi. Vasilli, sang sniper, memanfaatkan dentuman bom untuk melepaskan peluru ke tentara Nazi agar lokasinya tidak akan diketahui.
Penumpang yang terlelap tidur berkali-kali terkaget saat peluit signal berbunyi. Saya malah keasikan dengan semua kebisingan kereta ini. Karena saya kentutpun tidak akan ada yang tahu. Tapi harus bisa memperkirakan bunyi kentut bersamaan dengan gemertak roda kereta. Seperti tokoh vasilli dalam perang dunia II di arena Stalingrad, Rusia, yang digempur oleh pasukan Nazi. Vasilli, sang sniper, memanfaatkan dentuman bom untuk melepaskan peluru ke tentara Nazi agar lokasinya tidak akan diketahui.
Ya, di depan WC inilah tempat favorit saya. Hilir mudik para
penumpang yang akan dan telah menikmati sesi buang air saya saksikan. Masuk dengan
terburu-buru, keluar berlenggang dengan wajah sumringah. Saya bukan penumpang
gelap, bukan juga penumpang malam yang tidak kebagian tempat duduk.
Semenjak delapan bulan kebelakang, saya perhatikan perkereta apian Indonesia mulai berfikir manusiawi. Tak ada lagi gerbong yang penuh berjejal manusia di setiap sudutnya. Manusia di sambungan kereta, di kolong tempat duduk, di sepanjang jalan gerbong, dan di seluruh celah yang memungkinkan kaki untuk berpijak.
Semenjak delapan bulan kebelakang, saya perhatikan perkereta apian Indonesia mulai berfikir manusiawi. Tak ada lagi gerbong yang penuh berjejal manusia di setiap sudutnya. Manusia di sambungan kereta, di kolong tempat duduk, di sepanjang jalan gerbong, dan di seluruh celah yang memungkinkan kaki untuk berpijak.
Sekarang, dengan peraturan barunya, PT. KAI tidak lagi
menjual tiket berdiri, tiket kolong, dan sebagainya itu dengan harga yang sama
dengan tiket yang dimiliki orang-orang yang tertidur pulas di tempat duduk
masing-masing. Jadi, di sanalah saya sebenarnya duduk, di samping seorang nenek
bercucu enam.
#Nestapa Seorang Ibu
Nenek pensiunan Depnaker itu mempunyai enam cucu. Dari
detik pertama saya duduk di sampingnya, dia sudah mulai bercerita tentang
sebagian kecil kisah hidupnya yang memilukan. Dia ditinggal pergi anak
laki-lakinya yang berusia 19 tahun, kala itu. Ibu itu bertutur, dulu – sebelum
anak laki-lakinya meninggal - dia gemuk. Namun karena terlalu lama meratapi
kepergian anaknya, dia tidak mau makan sampai berbulan-bulan.Tentu saya tidak
percaya. Bagaimana mungkin dia masih hidup sampai sekarang? Kalau tidak, di
samping saya ini adalah zombie. Ternyata memang betul, jika tidak kasihan
dengan perutnya, dia tidak mau makan, tuturnya.
Suatu ketika, seseorang yang melayat mendoakan anaknya
berpesan, tak usalahlah meratap berlebihan. Lihatlah para keluarga korban
tsunami Aceh – kematian anaknya berdekatan dengan musibah tsunami Aceh – yang
ditinggal seluruh sanak famili mereka, mereka lebih banyak kehilangan.
Dikatakan begitu, ibu itu marah bukan main, dan membalas,
“kamu belum pernah mengalami hal ini. Tunggu saja kalau kamu ditinggalkan
anakmu."
Begitulah ibu yang tidak saya ketahui namanya bercerita.
Kemudian saya tinggalkan saja dia yang sudah meninggalkan saya lebih dulu. Dia
tertidur pulas dengan mulut menganga.
***
Dan di sinilah saya, di depan WC yang lebih nyaman, dari
pada kursi penumpang yang sama saja
tidak bisa membuatku tertidur. Di sini, saya bisa melihat lebih banyak ekspresi wajah para
penumpang, dari pada di tempat duduk hanya ada wajah-wajah bosan, ngantuk, dan
penat. Di sini, di depan WC, aku melihat ekspresi lain yang lebih menyenangkan
untuk di lihat. Ekspresi pengguna WC saat kebelet dan harus mengantri dan begitu lega ketika keluar. Ekspresi penjaul
asongan yang penuh harap dagangannya ada yang membeli. Ekspresi senang penumpang
baru di setiap pemberhentian stasiun. Dan ekspresi kesal seorang penjual pop mie yang disebabkan oleh saya.
Penjual itu langsung jengkel ketika saya membayar barangnya
dengan uang pecahan besar. Dia meminta saya untuk membayar dengan uang pas
saja. Saya pun langsung menunjukkan isi dompet untuk membuktikan di dompet saya
tidak ada pecahan uang yang lebih kecil lagi. Kemudian mukanya langsung ditekuk
sambil berlalu.
“Lho, pak! Ini gimana?” ku angkat pop mie itu sambil
kebingunan.
“Ya udah, ambil aja!” kemudian dia berlalu masuk ke gerbong.
Akhirnya saya makan pop mie dengan rasa bersalah. Tidak ku
rasakan lezatnya MSG yang biasa sangat saya nikmati. Sesekali penjual itu masi
hilir mudk, masih menjajakan dagangannya. Saya, dengan mulut yang penuh dengan
MSG seakan-akan mendengar ia berkata, “Enak lu! Makan MSG gratis!!!”
No comments:
Post a Comment