Tuesday, 2 October 2012

Sumatera, Travelled!

Kejutan itu selalu menegangkan dan menyenangkan. Apalagi yang kasih kejutan itu Yang Maha Mengejutkan. Pastinya lebih menegangkan dan mengasikkan. Seperti kisah yang satu ini, membuat saya terus terkejut-kejut bagaikan tersengat listrik satu juta volt. Hahaha... Mati!

God surprieses me over and over again dalam perjalanan saya kali ini. Perjalanan antar-nusa yang saya mulai dari Tanjung Priok, Jakarta. KM. Kelud mengawali pelayaran saya menuju Sekupang, Batam. Pelabuhan yang menjembatani antar negara juga, ke Malaysia dan Singapore. Banyak hal yang bisa saya lakukan di dalam kapal yang besar ini. Saya bisa nonton di bioskop mini dengan sajian film-film dewasa di deck dua, berkaroke ria dan bermain di Timezone ala KM. Kelud di deck lima, atau sekedar berkeliling kapal dan nongkrong di kantin kapal deck tujuh menikmati suasana laut dan para penumpang lain yang beraktifitas. Satu hal yang saya sayangkan dari KM. Kelud milik PT. Pelni ini. Mereka harus belajar dari saudara mereka di daratan, PT. KAI, yang sudah memperbaiki sistem penjualan tiket penumpang kelas ekonomi. Akan lebih nyaman jika tiket yang dijual sesuai dengan jumlah tempat yang tersedia. Sehingga tidak akan ada lagi penumpang yang berjejal tidur di deck luar, lobi kelas I dan II, dan berserakan di tangga kapal. Selain untuk kenyamanan, tentu saja hal tersebut jauh lebih aman karena jumlah penumpang tidak melebihi kapasitas kapal.

Batam bukan tujuan akhir perjalanan saya. Saya hanya transit sambil mengunjungi free trade area ini sejenak. Untuk menghemat biaya akomodasi, saya telah menghubungi couchserfer Batam. Syukurlah ada yang bisa menyediakan tempat tinggal untuk beberapa hari. Couchserfer adalah member couchsurfing.com. Sebuah media sosial online yang menjembatani antara pelancong dan penyedia akomodasi gratis di hampir seluruh kota di Dunia. Sayangnya, dalam perjalanan, rumah host yang akan saya tempati terkena hujan badai dan tidak bisa menampung. Jadi, sesampainya di Sekupang, saya kehilangan arah *azeeek. Kemudian teringatlah bapak kos di Bandung. Empat hari yang lalu saya berkunjung di acara pernikahan anaknya. Beliau bercerita bahwa ada saudaranya di Batam.

You see? Permainan Tuhan macam apa ini? Kenapa Dia menjadikan putri bapak kos menikah tepat lima hari sebelum saya ke Batam? Yang membuat saya berkunjung ke Bandung dan mendapat kabar bahwa beliau punya saudara di Batam. How beautiful destiny is. Right?

Selain banyak barang-barang dan manusia-manusia black market, ada hal unik tentang Batam. Di sana, taxi bisa berfungsi seperti angkot. Setelah penumpang naik, supir bisa mencari dan mengangkut penumpang lain di tengah jalan. Ongkos pun jauh lebih murah dan pemakaian BBM lebih optimal. Tapi jika kita ingin sistem argo pun berlaku juga di sini.

Dari Sekupang, saya melanjutkan perjalanan ke Pekanbaru dengan menggunakan speedboat bermerek Batam Jet. Tanpa saya ketahui sebelumnya, ternyata kapal yang saya naiki ini hanya sampai Selatpanjang saja. Apa itu Selatpanjang? Harusnya perjalanan saya langsung ke Pekanbaru. Tetapi karena keterbatasan informasi tentang jadwal kapal, saya harus terdampar di sini dan menunggu kapal lain yang akan membawa saya ke Pekanbaru.

Pertanyaan selanjutnya, di mana saya harus tinggal malam ini? Bapak kos tidak pernah bercerita tentang saudaranya yang ada di Selatpanjang. Jelas sekali kejutan kali ini tidak ada hubungannya dengan bapak kos. Akhirnya saya menggalau di kantin sambil ditemani kopi panas yang cepat sekali dingin. Sebuah tulisan besar “PENGINAPAN” tepat di depan pelabuhan menggoda saya untuk beranjak ke sana.

Sambil menikmati kopi, saya mencari info sebanyak-banyaknya tentang Selatpanjang dan kemungkinan couchserfer yang membuka rumahnya di sini. Saya buka juga google maps untuk mengetahui di mana sebenarnya letak Selatpanjang?

Ternyata, Selatpanjang adalah sebuah pelabuhan di Kab. Kep. Meranti. Meranti sendiri adalah kependekan dari tiga pulau yang menjadi anggota kabupaten kepulauan tersebut, yaitu (ME)rbau, (RAN)gsang, dan (T)ebingtingg(I).

Kegalauan semakin memuncak karena tak ada teman yang mengangkat telpon hanya untuk berbagi cerita. Juga tak ada informasi tentang host gratis di Selatpanjang dari media sosial online manapun. Sebelum saya menyerah, saya mencoba keberuntungan dengan menghubungi kawan yang tinggal tak jauh dari pulau ini, Pulau Bengkalis. Taraaaa, ternyata seorang kawan guru tempat dia mengajar berasal dari Selatpanjang dan keluarganya bersedia menjemput saya untuk bermalam di tempat mereka. Surpriseee!!!

Rasanya seperti baru saja keluar dari lubang yang sempit. Di sebuh tempat yang bahkan saya baru tahu keberadaannya, masih saja ada pertolongan yang tak terduga.

Hal yang unik di Selatpanjang, air yang digunakan masyarakat untuk MCK berwarna seperti teh pekat (bukan sliming tea yang kehijauan). Mungkin karena komposisi daratan ini adalah tanah gambut. Jadi, tak perlu lah membeli es teh di sini. Cukup sediakan es batu dan gula jika ingin menambah rasa manis. Jadilah es teh. Mantap bukan?

Keluarga yang menampung saya ini sangat ramah. Bahkan saya diajak berkeliling kota dan mencicipi makan khas di sini. Kota ini terlihat tua jika diperhatikan dari bangunan-bangunan pertokoan khas Melayu-Tionghoa seperti dalam setting film Laskar Pelangi.

Keesokan harinya speedboat Meranti membawa saya melanjutkan perjalanan ke Pekanbaru, Ibu kota propinsi Riau. Sepanjang perjalanan,  saya disuguhi pemandangan layaknya film Anaconda 2. Saya menyusuri sungai siak dengan kanan kiri pepohonan. Tugboat dan kapal tongkang juga berkali-kali terlihat membawa log-log dan peti kemas. Satu pengalaman baru buat saya, bertransportasi di sungai. Bukan jalan aspal, rel, udara, atau laut.

Tibalah saya di pelabuhan Sungai Duku. Untuk pertama kalinya, saya menginjakkan kaki di Andalas.
Sumatera, travelled!

Tips dan Trik:
1. Bagi budget traveler yang meminimalisir biaya penginapan, gunakanlah couchsurfing. Ada banyak host di hampir setiap kota di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Hubungi mereka jauh-jauh hari. Karena di beberapa kota, member tidak begitu sering membuka akun couchsurfing mereka. Dan carilah lebih dari satu host, untuk jaga-jaga jika ada pembatalan seperti cerita saya di atas. Hehe

2. Carilah info sebanyak mungkin tentang daerah-daerah yang akan dikunjungi beserta fasilitas transportasi publiknya.

3. Gunakan provider selular yang jaringannya menjangkau sampai ke pelosok negeri. Saya menyarankan Telk*****. Sinyal yang baik sangat bermanfaat jika tiba-tiba anda membutuhkan informasi mendadak seperti yang saya alami di atas. Hahaha

Thursday, 19 July 2012

Lika Liku Hidup dan Rel Kereta Api

Sebelum menyimak kisah saya, mari dangdutan dulu..
“Hidup penuh liku-liku
Ada suka ada duka
Semua insan pasti pernah merasakannya
                Jalan hidup rupa-rupa
                Bahagia dan kecewa
                Baik hidupnya
                Semua pasti ada hikmahnya”
*Setelah lirik itu, biasanya biduan organ tunggal pantura kayang sambil teriak

Saya duduk tepat di di depan WC kereta api ekonomi Bengawan dari Jakarta ke Solo. Jejak-jejak kaki keluar masuk WC dan bau pesing saya nikmati sebagai aroma terapi dini hari yang sejuk. Saya sendiri naik dari Stasiun Parujakan, Cirebon. Di sinilah spot PW yang tiada tara, melebihi nikmatnya fasilitas hotel bintang lima. Betulkah? Entahlah..

Saya menikmati setiap penjajah makanan khas KA ekonomi yang naik turun silih berganti di setiap pemberhentian stasiun. Saya hayati suara pengasong-pengasong itu saat menawarkan jualan mereka,
Pi.. kopi... pop miee...,”
“ting... lantiiing.. yang guriii”
“suu... tisuu.. tisuu...”

Jika tidak memperhatikan dengan seksama, mereka seperti tidak pernah lelah mondar mandir dari satu gerbong ke gerbong yang lain sambil berteriak menjajakan makanan. Padahal mereka adalah pengasong-pengasong yang bergantian keluar masuk kereta. Sungguh well organize. Seperti ada SOP khusus yang mereka sepakati antar pengasong sepanjang lintasan kereta di Pulau Jawa.

Suara roda kereta yang gemertak, suara mesin kereta yang menderu membelah sunyinya malam, dan suara signal kereta saat akan memasuki stasiun terdengar harmoni seperti alunan orkestra yang merangsang otak saya untuk menulis, merekam semua kejadian di kereta ini. Jika tidak dinikmati, memang suara-suara ini sangat berisik dan mengganggu.

Penumpang yang terlelap tidur berkali-kali terkaget saat peluit signal berbunyi. Saya malah keasikan dengan semua kebisingan kereta ini. Karena saya kentutpun tidak akan ada yang tahu. Tapi harus bisa memperkirakan bunyi kentut bersamaan dengan gemertak roda kereta. Seperti tokoh vasilli dalam perang dunia II di arena Stalingrad, Rusia, yang digempur oleh pasukan Nazi. Vasilli, sang sniper, memanfaatkan dentuman bom untuk melepaskan peluru ke tentara Nazi agar lokasinya tidak akan diketahui.

Ya, di depan WC inilah tempat favorit saya. Hilir mudik para penumpang yang akan dan telah menikmati sesi buang air saya saksikan. Masuk dengan terburu-buru, keluar berlenggang dengan wajah sumringah. Saya bukan penumpang gelap, bukan juga penumpang malam yang tidak kebagian tempat duduk.

Semenjak delapan bulan kebelakang, saya perhatikan perkereta apian Indonesia mulai berfikir manusiawi. Tak ada lagi gerbong yang penuh berjejal manusia di setiap sudutnya. Manusia di sambungan kereta, di kolong tempat duduk, di sepanjang jalan gerbong, dan di seluruh celah yang memungkinkan kaki untuk berpijak.

Sekarang, dengan peraturan barunya, PT. KAI tidak lagi menjual tiket berdiri, tiket kolong, dan sebagainya itu dengan harga yang sama dengan tiket yang dimiliki orang-orang yang tertidur pulas di tempat duduk masing-masing. Jadi, di sanalah saya sebenarnya duduk, di samping seorang nenek bercucu enam.

#Nestapa Seorang Ibu
Nenek pensiunan Depnaker itu mempunyai enam cucu. Dari detik pertama saya duduk di sampingnya, dia sudah mulai bercerita tentang sebagian kecil kisah hidupnya yang memilukan. Dia ditinggal pergi anak laki-lakinya yang berusia 19 tahun, kala itu. Ibu itu bertutur, dulu – sebelum anak laki-lakinya meninggal - dia gemuk. Namun karena terlalu lama meratapi kepergian anaknya, dia tidak mau makan sampai berbulan-bulan.Tentu saya tidak percaya. Bagaimana mungkin dia masih hidup sampai sekarang? Kalau tidak, di samping saya ini adalah zombie. Ternyata memang betul, jika tidak kasihan dengan perutnya, dia tidak mau makan, tuturnya.

Suatu ketika, seseorang yang melayat mendoakan anaknya berpesan, tak usalahlah meratap berlebihan. Lihatlah para keluarga korban tsunami Aceh – kematian anaknya berdekatan dengan musibah tsunami Aceh – yang ditinggal seluruh sanak famili mereka, mereka lebih banyak kehilangan.

Dikatakan begitu, ibu itu marah bukan main, dan membalas, “kamu belum pernah mengalami hal ini. Tunggu saja kalau kamu ditinggalkan anakmu."

Begitulah ibu yang tidak saya ketahui namanya bercerita. Kemudian saya tinggalkan saja dia yang sudah meninggalkan saya lebih dulu. Dia tertidur pulas dengan mulut menganga.

***
Dan di sinilah saya, di depan WC yang lebih nyaman, dari pada kursi  penumpang yang sama saja tidak bisa membuatku tertidur. Di sini, saya bisa melihat lebih banyak ekspresi wajah para penumpang, dari pada di tempat duduk hanya ada wajah-wajah bosan, ngantuk, dan penat. Di sini, di depan WC, aku melihat ekspresi lain yang lebih menyenangkan untuk di lihat. Ekspresi pengguna WC saat kebelet dan harus mengantri  dan begitu lega ketika keluar. Ekspresi penjaul asongan yang penuh harap dagangannya ada yang membeli. Ekspresi senang penumpang baru di setiap pemberhentian stasiun. Dan ekspresi kesal seorang penjual pop mie yang disebabkan oleh saya.

Penjual itu langsung jengkel ketika saya membayar barangnya dengan uang pecahan besar. Dia meminta saya untuk membayar dengan uang pas saja. Saya pun langsung menunjukkan isi dompet untuk membuktikan di dompet saya tidak ada pecahan uang yang lebih kecil lagi. Kemudian mukanya langsung ditekuk sambil berlalu.
“Lho, pak! Ini gimana?” ku angkat pop mie itu sambil kebingunan.
“Ya udah, ambil aja!” kemudian dia berlalu masuk ke gerbong.

Akhirnya saya makan pop mie dengan rasa bersalah. Tidak ku rasakan lezatnya MSG yang biasa sangat saya nikmati. Sesekali penjual itu masi hilir mudk, masih menjajakan dagangannya. Saya, dengan mulut yang penuh dengan MSG seakan-akan mendengar ia berkata, “Enak lu! Makan MSG gratis!!!”