Tuesday, 16 September 2014

Trip Dieng: Salakanegara

Siapa yang masih ingat kerajaan tertua di Indonesia?

Pasti pada jawab Kutai. Ya, kan? Karena biasanya, kita diajarkan oleh guru SD kita begitu.

Aku baru tau, ternyata ada yang lebih tua dari Kutai di Kalimantan Timur. Dulu, di daerah provinsi Banten sekarang, ada sebuah kerajaan kecil yang pusatnya di daerah Pandeglang dan pusat perekonomian di Merak, namanya Kerajaan Salakanegara yang artinya negeri perak. Pandeglang sendiri artinya pande (ahli pembuat)-gelang dan Merak dari kata me-perak, membuat sesuatu dari Perak. Entah kenapa di pelajaran sekolah belum pernah disebutkan riwayat kerajaan ini.

Lokasi Pelabuhan Merak, Banten. Diambil dari google maps satelite.

Darimana aku tau? D-A-R-I M-E-M-B-A-C-A hahaha sejak kapan aku membaca? Tuntutan kebutuhan sebagain pemandu wisata sebenernya Karena sekarang I am heading Dieng to guide a tour.

Lalu apa hubungannya mau ke Dieng dan kerajaan pertama di Nusantara yang ternyata adalah Salakanegara? Good question!

Sebelumnya aku pernah dengar bahwa di sekitar Dieng inilah (dan beberapa lokasi yang disebutkan di sepanjang pantai utara Jawa Tengah) pernah berdiri sebuah kerajaan yang terkenal sampe ke daratan Cina, kala itu. Namanya Kerajaan Kalingga yang kemudian menjadi Medang dan sekarang lebih terkenal dengan nama Mataram. Kerajaan Kalingga-Medang ini mempunyai hubungan erat dengan kerajaan di daerah Jawa Barat. Dan kalau ditelusuri, akan tersambunglah dengan Salakanegara itu.

Salakanegara akhirnya menjadi Tarumanegara (kerajaan tertua ketua kedua setelah Kutai, kalau di pelajaran sekolah). Silahkan cari tahu sendiri apakah itu terjadi perebutan kekuasaan atau hanya perluasan wilayah dan pergantian penguasa. Nah, Tarumanegara ini di abad ke 7 (600an Masehi) berganti nama menjadi Kerajaan Sunda, di mana salah satu kerajaan kecil bawahannya adalah Kerajaan Galuh. Kemudian setelah satu tahun perubahan sejak nama Kerajaan Sunda terbentuk, Galuh memisahkan diri menjadi sebuah negara yang berdaulat.

Dari kerajaan Galuh ada cerita menarik. Cerita yang sering ditayangkan di sinetron-sinetron kita tercinta yang menemani malam-malam syahdu di Indonesia. Yaitu cerita tentang PER-SE-LING-KU-HAN!! Ahahaha itu yang aku pahami. Karena yang aku baca, ada salah satu raja Kerajaan Galuh bernama Mandiminyak.

Mandiminyak diceritakan menikah dengan Parwati, putri dari Ratu Shima penguasa Kalingga yang terkenal dengan kebijaksanaan dan keadilannya. Selain berisitrikan Parwati, Mandiminyak juga ternyata berhubungan serius dengan Pwahaci Rababu yang diceritakan sebagai permaisuri dari Raja Jatmika, seorang raja Kerajaan Galuh sebelum Mandiminyak. Lalu apa coba namanya kalau bukan perselingkuhan? Atau interpretasiku yang salah?

Mandiminyak dan Parwati melahirkan putra bernama Sanaha. Sedangkan dari Pwahaci melahirkan putri bernama Sana. Kemudian setelah akil baligh kedua anak itu dinikahkan. Kemudian dari perkawinan mereka melahirkan putra yang bernama Sanjaya.

Nama Sanjaya ku yakin sudah banyak yang sering dengar. Sanjaya menjadi penguasa Galuh dan Sunda yang sudah ditaklukan. Kemudian setelah neneknya, Ratu Shima meninggal, Sanjaya melanjutkan tahtanya.

Selanjutnya, bagaimana Sanjaya menjadi sebuah salah satu dinasti penguasa Medang-Mataram selain Sailendra pasti udah pada sering dengar kan?

Jadi, Dataran Tinggi Dieng inilah yang menjadi salah satu saksi bisu atas sejarah yang sebenarnya terjadi. Mudah-mudahan kunjungan saya ke Dieng kali ini mendapatkan pencerahan sejati. Enlightment!!!  Hahaha


Thursday, 11 September 2014

Back to The Road: Dari Karimunjawa Sampai Timor Leste

Gosh! Dang it!
Aku seperti habis amnesia atau makan apel kaya putri salju rasanya. Berapa tahun lamanya ngga nulis di sini. Rasanya ada yang ngga beres. Kalau kalian suka nulis di blog, pasti tau rasanya. Kemarin malam, saat aku menikmati me-time di kamar mandi. Aku meniatkan lagi diri ini untuk kembali berbagi cerita, cerita perjalanan. Hanya saja, makna perjalanan di sini akan ku coba luaskan. Tidak hanya tentang itinirary dan keindahan suatu lokasi, tetapi juga nilai-nilai yang ku temukan ketika melakukan perjalanan itu. Are you reaaadeeeeyyyyy!!!! *Girls shouting

Buat pemanasan, aku mau cerita beberapa part tentang perjalananku beberapa tahun kebelakang.

1. Teman bule di Karimunjawa
Aku sering melihat adegan di film-film luar negeri. Ketika seorang asing tiba-tiba mengajak ngobrol, biasanya mereka langsung menghindar. Nah, ceritaku beberapa tahun lalu di Karimunjawa. Saat itu pagi hari tidak bersahabat, mendung, angin badai, dan dingin membuat teman-temanku masih enggan beranjak dari kamar hotel. Aku, seorang diri memberanikan diri untuk mengendarai motor pinjaman menelusuri Pulau Karimunjawa hingga ke bagian ujung utara pulau, masyarakat di sana menamainya Pulau Kemojan. Sampai sekarang aku masih menganggap dua pulau itu adalah satu daratan yang sama. Mungkin ada selat kecil yang memisahkan. Entahlah.

Aku berhasil menemukan lokasi-lokasi luar biasa yang belum pernah ku temukan dalam perjalanan Karjaw sebelumnya. Seperti pemakaman seorang sunan, lokasi treking mangrove, perkampungan suku Bajo, dan pelabuhan (entah saya lupa namanya). Setelah merasa cukup, dan memperkirakan teman-temanku yang lain sudah bangkit, aku memutuskan kembali.

Dalam perjalanan kembali inilah sesuatu terjadi. (Aku baru ingat, rasanya aku udah pernah cerita tentang ini. Tapi biarlah). Jalanan aspal berlumut, berkelok dan naik turun, di tambah guyuran cinta dari gerimis mengundang, membuat saya terjungkal dari atas motor. Naas. Ada seorang ibu yang melihat dan dia langsung sigap menolongku. Ibu itu panik dan langsung mencarikanku obat merah. Tidak hanya itu, aku dipersilahkannya duduk dan menenangkan diri. Beberapa saat kemudian dia membawakanku air putih panas dan bergula, katanya untuk mengurangi syok dan memar. Wow aku baru tau itu.

Sampai segitunya orang kita peduli dengan orang lain. Bahkan kepada orang yang baru dijumpainya pun mereka anggap seperti sudah lama mereka kenal.

2. Timor Leste overland
Yang satu ini memang agak riskan untuk membuktikannya. Aku melakukan perjalanan seorang diri ke Dili, Timor Leste. Dari beberapa cerita yang aku dapat, masih ada sensitifisme yang dirasakan warga Timor Leste kepada Indonesia. Tapi aku penasaran untuk mengunjungi saudara lama Indonesia ini. Jadilah waktu itu aku memutuskan untuk overland Kupang-Dili dengan menggunakan sepeda motor berplat DH. Tidak banyak yang aku persiapkan karena memang tujuan utamanya adalah Dili. Di sana ada teman dari temanku yang bekerja di Dili. Aku hanya perlu memperkirakan nama-nama kabupaten yang akan dilalui, Kupang-Timor Timur Selatan (Soe), Timor Timur Utara (Kefamanu), Belu (Atambua), kemudian baru masuk ke perbatasan.

Perjalanan ku mulai di pagi hari sekitar jam 7 dari Kupang. Aku pikir bisa sampai di perbatasan sebelum imigrasi tutup. Beberapa kali aku berhenti untuk beristirahat dan mengabadikan pesona alam yang suprisingly banyak sekali yang bisa aku lihat sepanjang perjalanan. Pantai dan hutan-hutan di perbukitan semuanya mengajak saya untuk singgah me-selfi-kan mereka. Tak bisa lama-lama saya singgah, karena harus sampai di perbatasan Mota'ain sebelum jam 5.

Perkiraanku salah, mereka menggunakan GMT +9, sedangkan Timor bagian barat (wilayah Indonesia) GMT +8. Jadilah saya singgah di desa terakhir, Atapupu. Di sana ada perkampungan muslim yang ramai. Aku bisa menemukan pelabuhan, warung makan, masjid, pos polisi perbatasan, dan kantor bea cukai. Perfect! Perjalanan ku lanjutkan ke esokan harinya.

Sore itu juga aku mengurus surat ijin untuk membawa masuk motor Indonesia di kantor bea cukai. Aku meninggalkan SIM dan STNK asli di sana. Untuk tempat menginap, aku enggan harus kembali lagi ke Atambua, menempuh jarak sekitar 25 Km. Aku menanyakan kepada petugas bea cukai jika ada penduduk sini yang mau menyewakan kamar. Ternyata tidak ada.

Tetapi dia berbaik hati untuk mempersilahkan saya untuk tidur di kantor bea cukai. Ah, baik sekali. Ketika saya ngobrol-ngobrol dengan polisi perbatasan, mereka pun mempersilahkan saya untuk tidur di kantor polisi. Dan di masjid dekat situ pun, saya bisa berteduh. Tidak ada lagi kekhawatiran untuk masalah tempat tinggal.

Esok hari, aku masuk ke perbatasan. Aku melihat jejeran kontainer di samping beberapa bangunan-bangunan yang ternyata kantor imigrasi. Aku bayar 25 USD untuk kunjungan satu bulan. Walaupun sebenarnya aku hanya beberapa hari saja berada di wilayah Timor Leste. Ada anak-anak kecil yang setengah memaksa untuk membantuku mengurus visa. Mereka menjadi joki visa. Aku tawari mereka dengan rupiah, ternyata mau. Tak lama kemudian aku sudah legal masuk ke Luar Negeri! Yeaaay!!! Hahahaha

Perjalanan dari Mota'ain-Dili lebih mengejutkan lagi. Sepanjang jalan yang ku lalui adalah lautan biru yang sangat indah di sebelah kiri, dan tebing batu yang menakjubkan di sebelah kanan. Beberapa part jalan memang rusak dengan tiang-tiang listrik yang sepertinya sudah tidak berfungsi. Tidak banyak pemukiman yang ku temukan sepanjang perjalanan. Untungnya motorku si Sirius Black bisa bertahan. Bayangkan kalau dia harus mogok atau ban bocor? Mati sudah! Untungnya tidak! Semua Lancar. Dan setiap kali aku menemukan rumah penduduk dan berpenghuni, kalau tidak aku menyapa duluan dengan klakson dan anggukan kepala, mereka pasti sudah teriak duluan, "Kupang!!!," atau "Dehaaa!!!" DH plat nomor motorku. Hahahaha menyenangkan sekali. Mereka baik dan ramah. Mereka masih saudara kita.

3. (bersambung)

Yaay!! Aku nulis lagi...