Alam punya banyak cerita. Indonesia punya banyak cerita di setiap jengkalnya. Jangan sampai dibilang 'kurang piknik'. Buat ceritamu!
Saturday, 12 February 2011
Kemalangan di Karimunjawa
Walaupun tidak di lubang yang sama, seharusnya saya tidak jatuh empat kali di hari yang sama. Karena saya bukan Keledai. Kok bisa? Simak saja ceritanya kalo ada waktu. :D
Tiap hari saya tidur di kursi panjang yang terbuat dari kayu di lobi wisma, kecuali beberapa hari. Alasannya kenapa? nanti saya ceritakan. Wisma Wisata Karimunjawa adalah bangunan tua. Ketika kita baru check-in pun aroma yang semerbak tercium mirip sekali dengan aroma-aroma mistis di keraton-keraton kerajaan jaman dahulu. Kemudian sejajar dengan pintu masuk, terdapat gebyog ukiran Jepara lengkap dengan kursi pengantinnya. Tapi entah mengapa kursi pengantin diposisikan terbalik (menghadap ke tembok). Nah, ditengah-tengah gebyog terdapat juga cermin tua yg dibingkai ukiran kayu khas Jepara.
Seperti hari-hari sebelumnya saya tidur di sebuah kursi. Sering saya terbangun di tengah malam, mungkin karena memang kurang nyaman atau karena hawa dingin dari angin laut yang masuk dari luar. Tapi biasanya, menjelang fajar, saya mulai tertidur pulas. Pada hari itu entah saya mimpi apa, saya terbangun dari tidur karena terjatuh dari kursi. Setelah meyakinkan diri saya benar-benar jatuh, segera saya bangkit dari lantai. Melihat ke sekeliling ternyata yang lain masih belum pada bangun. Syukurlah, tidak ada yang menertawakan kekonyolanku.
Kejadian itu tak begitu ku anggap. Pagi itu Karimunjawa diguyur hujan kecil. Saya mengajak Michael yang sudah bangun untuk jalan-jalan ke pasar traditional. Terlebih dahulu kami mencari motor sewaan dengan minta bantuan ke Mas Amin sang resepsionis. Sekalian juga motor ini yang akan kami gunakan untuk keliling pulau. Akhirnya kami dapat dua motor dan mengajak dua orang lagi, Gunawan dan Imam.
Ternyata pasar traditional tak seperti yang ku lihat di buku Indonesia in Frame terbitan Departemen Pariwisata. Sekarang pasarnya sudah berada di bangunan layaknya kebanyakan pasar di kota-kota lain. Di sana kami hanya melihat-lihat, membeli kue-kue traditional untuk sarapan, dan si apa Michael membeli banyak ikan asin, oleh-oleh untuk mama Michael, katanya. Kemudian kami mampir di warung bubur ketan hitam untuk sarapan.
Sambil santai-santai di depan wisma, menunggu semua teman bangun, kami mendapat kabar bahwa kapal Muria tidak berangkat lagi hari itu. Sontak saja membuat kecewa teman-teman. Mereka kembali tidur untuk mengalihkan kekecewaan. Karena kepulangan yang tertunda lagi. Sedangkan saya, mengalihkan kekecewaan dengan mengendari motor seorang diri diguyur hujan rintik. Awalnya saya tidak berniat jalan begitu jauh, tetapi rasa penasaran saya kian membuncah. Akhirnya saya meneruskan perjalanan sampai ke Pulau Kemojan dan ke Desa Kemloko. Setelah dirasa sudah terlalu jauh, saya kembali karena pasti yang lain sudah siap untuk berpetualang lagi.
Medan yang dilalui bagi saya cukup menantang. Tanjakan dan turunan serta belokan yang dibumbui aspal licin akibat diguyur hujan menambah kesulitan bagi saya. Akhirnya tanpa terelakkan, saya terjatuh dari motor, dan sempat membuat panik empat orang warga sekitar. Mereka memberi saya kapas dan betadine. Malah seoarang ibu yang baik hari menyuguhi saya air gula. Sambil menahan rasa nyeri karena goresan aspal dan kedua tangan yang terkilir, saya melanjutkan perjalanan pulang ke Wisma.
Sampai di wisama, benar saja ternyata teman-teman yang lain sudah menunggu. Setelah membersihkan luka dan mencari sisa motor untuk teman-teman yang lain, saya kembali touring. Kali ini bersama teman-teman dan seorang guide, Mas Alex. Dengan melewati jalan yang persis sama seperti yang saya lalui sebelumnya, kami menemukan satu demi satu 'a hidden paradise'. Kami mengunjungi rumah adat Jawa dan Bugis, pantai baracuda, pantai batu putih, bandara Dewadaru, pelabuhan Legon Bajak, hutan mangrove, serta dua pantai lain yang tak kalah indahnya.
Kalau saja tidak ada guide, mungkin akan sulit bagi kami untuk menemukan pantai-pantai tersebut. Karena untuk mencapainya, jalan bukan aspal lagi, tetapi lumpur-lumpur becek, bahkan turunan jalan yang tidak bisa dilalui oleh motor lagi hingga kami harus jalan melewati semak belantara. Saat menuruni tebing menuju pantai batu putih, lagi-lagi saya terjatuh. Dan sekali lagi saya terjatuh, saat saya melewati akar pohon yang terlihat tertuitup oleh pasir. Gusti... Temen saya malah bilang, "wah jangan-jangan mau punya adik lagi..." :p
Tapi semua yang saya alami sungguh terbayar dengan semua yang saya lihat dan nikmati bersama teman-teman. Di bandara ada dua pasang keluarga yang berbaik hati menghibur kami yang tidak bisa pulang. Mereka menyuguhi singkong rebus. Memang itu tidak seberapa. Tapi keramahan dan kehangatan yang mereka berikan disaat kita kecewa karena terdampar. Dan suguhan singkong rebus hangat pun menjadi sangat bernilai saat itu.
Terimakasih, singkong rebus! :p
Terdampar di Karimunjawa
Perjalanan ke-dua ke Karimunjawa penuh halangan, walau semuanya terbayar. Mengunjungi kepulauan kecil di Indonesia memang harus pintar dalam memperhitungkan waktu keberangkatan. Jika tida, siap-siap saja terdampar di pulau. Seperti kisah saya dan teman-teman di bawah ini. Kita sedikit memaksakan pergi di saat ombak dan angin di laut Jawa kurang bersahabat. Alhasil kita terdampar beberapa hari di sana.
Dari awal ibu sudah wanti-wanti, "apa ndak nanti saja ke Karimunjawanya? Sekarang masih musim barat..." Dan nasihat-nasihat lain yang intinya, jangan berangkat sekarang. Tapi bodohnya anak ibu, tetep saja memaksakan diri karena percaya pada info yang diberikan orang Karimunjawa. Jelas saja mereka bilang, "tanggal segitu cuaca bagus!" Kalo mereka bilang jelek, berarti kurang cerdik. Karena sama saja menolak rejeki.
Bak ucapan mamak Malin, ucapan ibuku menjadi nyata. Saya dan temen-teman terdampar di Karimunjawa sampa dua hari. Dari awal kedatangan kami di sana, cuaca memang sering uring-uringan, kadang cerah, tapi seketika mendung gelap mencekam. Kami khawatir nasib kami akan seperti para wisatawan yang terdampar behari-hari, kehabisan bekal, dan tidak bisa kerja atau kuliah. Hingga masuk media cetak dan elektronik.
Akhirnya dengan penuh perasaan cemas akan keputusan yang diambil, kami membulatkan diri untuk menggunakan kapal nelayan yang menurut saya sangat riskan untuk nyebrang ke Jepara. Berkali-kali saya menanyakan ke teman-teman yang lain, "apakah kalian yakin menggunakan kapal nelayan dengan resiko yang sangat tinggi? Kapal akan mudah oleng karena gelombang tinggi laut Jawa..." Ternyata semuanya menjawab, "iya." walaupun wajah mereka berkata tidak. GOD!!! padahal jawaban yang saya inginkan adalah, "yaudahlah... nanti aja nunggu kapal Muria..." Huffh... Mau ngga mau saya harus bertanggung jawab atas keselamatan mereka, dan ikut dengan "kapal bajak laut".
Hari sebelumnya, saya bertemu dengan dua teman perjalanan kami asal Jerman, Kristin dan Alex di pelabuhan fery saat memancing, dan bercerita tentang rencana kami untuk menyeberang menggunakan kapal nelayan. "Umur... Please don't do that. How if the ship broken? There's no chance for you..." Kristin berkata sambil memelas. Tapi karena tekad sudah bulat, ya mau ada kesempatan ato enggak, hajarrrrrr!!!
Akhirnya malam yang menegangkan tiba. Sejak maghrib kita sudah menyusun rencana. Nahkoda kapal menarik saya ke samping warung alun-alun yang gelap. Sambil berbisik, dia memberitahu rencana keberangkatan kita di waktu fajar nanti. Kita berencana berangkat jam 04.00 untuk kucing-kucingan dengan Syahbandar. Si Bapak dan Ibu warung tak mau ketinggalan, di tengah keremangan wajah misterius mereka berbisik, "awas... jangan sampai ada yang tahu dengan rencana kita. orang syahbandar punya banyak mata-mata.."
Rencana tersusun dengan rapih, dengan mengendap-endap di kegelapan malam kita akan keluar dari wisma menuju prahu nelayan. Jam 22.30 teman-teman sudah masuk ke kamar masing-masing. Entah mereka bisa tidur atau tidak, tapi saya masih diliputi kegelisahan. Ternyata teman saya, Gunawan, juga demikian. Sejak sore saya lihat air wajahnya sangat tegang. Ketika kita ngobrol di teras wisma malam itu, dia mengungkapkan ketidakyakinannya. Dengan jawaban seadanya saya bilang, "kalau nggak yakin ya jangan dipaksa, ntar aja nunggu Muria."
Untuk mengalihkan kegelisahan, di tengah malam itu saya ke warung untuk makan. Saya pesen mie plus nasi. Tak berapa lama, Gunawan menyusul masih dengan wajahnya yang terlihat tegang. "Kopi bu..." dia bilang. Dan di sinilah terjadi peristiwa yang menambah kekhawatiran. Saya melihat sendiri, saat ibu warung menuangkan air panas ke dalam gelas, seketika gelas terpecah menjadi dua dengan suara yang keras. Gunawan langsung terkaget, kemudian dia bilang, "wahh... ada apa nih? INI SUATU PERTANDA..."
Saat-saat itu tiba, jam 03.00 saya udah kordinasi sama temen-temen yang berjumlah 14 orang, via sms dan call agar menghindari keributan. Michael saya minta menghubungi Alex, tourguide di Karimunjawa, untuk mengantarkan pelampung yang akan kami pakai. Setidaknya itu satu-satunya alat keselamatan yang bisa diandalkan. Menjelang jam 04.00 semuanya sudah siap. Kemudian bersama-sama kami keluar dari wisama dengan seribu perasaan mencekam. Layaknya imigran gelap, saya melihat teman-teman membawa tas-tas besar menerobos kegelapan menuju kapal nelayan.
Semuanya telah siap. ABK menjejakkan tongkat pelan untuk menghanyutkan kapal ke tengah laut. Setelah di laut dalam dan jauh dari pulau, barulah ABK menyalakan mesin dan tancap gas. Saya sudah memasrahkan diri kepada Dia yang berkuasa atas nyawa saya. Tapi untuk jaga-jaga, sebenernya saya udah titip mesej ke temen-temen di FB, "kalau sampe sore tidak ada kabar dari saya, tolong hubungi tim SAR atau polisi..." Hahaha
Sebenernya, sebulan sebelumnya saya berkunjung ke sini dengan grup yang berbeda untuk merayakan tahun baru 2011. Pun saya dan kawan-kawan mengalami hal yang sama, terdampar beberapa hari. Simak keseruankami dalam pesta kemban api tahun baru di Karimunjawa di sini
Dari awal ibu sudah wanti-wanti, "apa ndak nanti saja ke Karimunjawanya? Sekarang masih musim barat..." Dan nasihat-nasihat lain yang intinya, jangan berangkat sekarang. Tapi bodohnya anak ibu, tetep saja memaksakan diri karena percaya pada info yang diberikan orang Karimunjawa. Jelas saja mereka bilang, "tanggal segitu cuaca bagus!" Kalo mereka bilang jelek, berarti kurang cerdik. Karena sama saja menolak rejeki.
Bak ucapan mamak Malin, ucapan ibuku menjadi nyata. Saya dan temen-teman terdampar di Karimunjawa sampa dua hari. Dari awal kedatangan kami di sana, cuaca memang sering uring-uringan, kadang cerah, tapi seketika mendung gelap mencekam. Kami khawatir nasib kami akan seperti para wisatawan yang terdampar behari-hari, kehabisan bekal, dan tidak bisa kerja atau kuliah. Hingga masuk media cetak dan elektronik.
Akhirnya dengan penuh perasaan cemas akan keputusan yang diambil, kami membulatkan diri untuk menggunakan kapal nelayan yang menurut saya sangat riskan untuk nyebrang ke Jepara. Berkali-kali saya menanyakan ke teman-teman yang lain, "apakah kalian yakin menggunakan kapal nelayan dengan resiko yang sangat tinggi? Kapal akan mudah oleng karena gelombang tinggi laut Jawa..." Ternyata semuanya menjawab, "iya." walaupun wajah mereka berkata tidak. GOD!!! padahal jawaban yang saya inginkan adalah, "yaudahlah... nanti aja nunggu kapal Muria..." Huffh... Mau ngga mau saya harus bertanggung jawab atas keselamatan mereka, dan ikut dengan "kapal bajak laut".
Hari sebelumnya, saya bertemu dengan dua teman perjalanan kami asal Jerman, Kristin dan Alex di pelabuhan fery saat memancing, dan bercerita tentang rencana kami untuk menyeberang menggunakan kapal nelayan. "Umur... Please don't do that. How if the ship broken? There's no chance for you..." Kristin berkata sambil memelas. Tapi karena tekad sudah bulat, ya mau ada kesempatan ato enggak, hajarrrrrr!!!
Akhirnya malam yang menegangkan tiba. Sejak maghrib kita sudah menyusun rencana. Nahkoda kapal menarik saya ke samping warung alun-alun yang gelap. Sambil berbisik, dia memberitahu rencana keberangkatan kita di waktu fajar nanti. Kita berencana berangkat jam 04.00 untuk kucing-kucingan dengan Syahbandar. Si Bapak dan Ibu warung tak mau ketinggalan, di tengah keremangan wajah misterius mereka berbisik, "awas... jangan sampai ada yang tahu dengan rencana kita. orang syahbandar punya banyak mata-mata.."
Rencana tersusun dengan rapih, dengan mengendap-endap di kegelapan malam kita akan keluar dari wisma menuju prahu nelayan. Jam 22.30 teman-teman sudah masuk ke kamar masing-masing. Entah mereka bisa tidur atau tidak, tapi saya masih diliputi kegelisahan. Ternyata teman saya, Gunawan, juga demikian. Sejak sore saya lihat air wajahnya sangat tegang. Ketika kita ngobrol di teras wisma malam itu, dia mengungkapkan ketidakyakinannya. Dengan jawaban seadanya saya bilang, "kalau nggak yakin ya jangan dipaksa, ntar aja nunggu Muria."
Untuk mengalihkan kegelisahan, di tengah malam itu saya ke warung untuk makan. Saya pesen mie plus nasi. Tak berapa lama, Gunawan menyusul masih dengan wajahnya yang terlihat tegang. "Kopi bu..." dia bilang. Dan di sinilah terjadi peristiwa yang menambah kekhawatiran. Saya melihat sendiri, saat ibu warung menuangkan air panas ke dalam gelas, seketika gelas terpecah menjadi dua dengan suara yang keras. Gunawan langsung terkaget, kemudian dia bilang, "wahh... ada apa nih? INI SUATU PERTANDA..."
![]() |
Perairan Karimunjawa dengan cuaca mendung. Photo by Anggi |
Semuanya telah siap. ABK menjejakkan tongkat pelan untuk menghanyutkan kapal ke tengah laut. Setelah di laut dalam dan jauh dari pulau, barulah ABK menyalakan mesin dan tancap gas. Saya sudah memasrahkan diri kepada Dia yang berkuasa atas nyawa saya. Tapi untuk jaga-jaga, sebenernya saya udah titip mesej ke temen-temen di FB, "kalau sampe sore tidak ada kabar dari saya, tolong hubungi tim SAR atau polisi..." Hahaha
Sebenernya, sebulan sebelumnya saya berkunjung ke sini dengan grup yang berbeda untuk merayakan tahun baru 2011. Pun saya dan kawan-kawan mengalami hal yang sama, terdampar beberapa hari. Simak keseruankami dalam pesta kemban api tahun baru di Karimunjawa di sini
Subscribe to:
Posts (Atom)